Sabtu, 19 Juni 2010

suluk abdul jalil

Tubuhnya jangkung, tegap, dan berotot. Kulitnya putih kemerahan, hidungnya mancung, alis matanya tebal. Matanya setajam elang. Postur tubuhnya yang lain dari kebanyakan orang pribumi membuat San Ali mudah dikenali. Apalagi mendengar namanya yang sangat asing ditelinga menunjukkan bahwa dia adalah salah satu peranakan Melayu-Gujarat.
San Ali adalah sebuah nama yang mulai banyak dikenal karena seringnya dia keluar masuk hutan, berkunjung dari satu desa ke desa lainnya dan bergaul dengan berbagai kalangan untuk mencari Tuhannya. Para Brahmin (pendeta Hindu) tidak keberatan malah dengan suka cita berdiskusi dengan San Ali tentang masalah keTuhanan sesuai dengan ajarannya masing-masing. Tidak ada yang merasa dipojokkan untuk mempertahankan kebenaran agamanya. Malah sebaliknya semakin bertambah wawasan ilmu untuk menemukan kebenaran sejati.

Dari beberapa pengamatan tentang kehidupan selama perantauannya, San Ali semakin merasa penasaran dengan apa yang dia peroleh. Misalnya tentang perbedaan antara orang-orang durhaka dan celaka, seperti : penjudi, pemabuk, pencuri, perampok, pelacur, penipu, pembunuh dan pemuja berhala yang bakal menempati neraka. Sebaliknya orang-orang yang saleh dan beruntung yang bakal menghuni surga.
San Ali melihat, bahwa persoalan ini hanyalah masalah penundaan waktu belaka. Intinya orang yang masuk neraka sudah melaksanakan hal-hal yang dilarang agama pada saat di dunia, sedang orang yang masuk surga melakukannya pada saat orang itu sudah meninggal dan masuk surga, karena di surga mereka bebas minum khamr, menikmati 40 bidadari, bersenang-senang dan tidak ada larangan apapun.
Jadi apa bedanya perbuatan itu ? Yang satu dilampiaskannya di dunia, yang lainnya menunggu di akherat.

Yang di neraka pasti mendapat siksa, sedang yang di surga bisa berbuat apapun yang disuka. Atas dasar apa Gusti Allah menentukan golongan manusia yang akan masuk neraka (celaka) sedangkan golongan lain masuk surga (beruntung). Bukankah Gusti Allah itu Maha Adil ? Kenapa membeda-bedakan antara satu dengan yang lain ? Bukankah mereka itu lahir kedunia bukan atas kehendaknya sendiri kemudian setelah mati harus mendapat siksa di neraka. Kenapa Gusti Allah yang mempunyai sifat Ar- Rahman & Ar-Rahim begitu tega menyiksa ?

Bagaimana dengan aku (San Ali) ? Kalau aku masuk neraka, berarti AKU (Tuhan) juga masuk neraka ? Bukankah dalam diri aku juga ada AKU ?

Petualangan San Ali dalam mencari Tuhannya masih diselimuti kabut tebal dan membingungkan. Setiap kali ditemukan jawaban atas satu persoalan selalu diikuti oleh pertanyaan lain yang lebih rumit dan menemui jalan buntu untuk memperoleh jawaban atas hakekat hidup manusia.

Suatu saat sekeluarnya dari hutan, San Ali bertemu dengan salah satu Brahmin tua yang sedang mempersembahkan sesaji di altar dewa. Terlintas di benaknya bahwa sangat mustahil arca dewa bisa makan sesaji yang disiapkan sang Brahmin. Namun terlintas pula di benaknya tentang ibadah qurban di dalam agama Islam. Bukankah Gusti Allah yang tak terpikirkan dan tak terjangkau panca indra itu sesungguhnya juga tidak membutuhkan darah dan daging domba ? Namun kenapa umat Islam setiap hari Raya Idhul Adha itu menyembelih domba ? Apa bedanya ibadah sang Brahmin tua tadi dengan ibadah umat Islam dalam hal persembahan ?

Dalam benak San Ali muda bergelayut tanda tanya yang tak ada habisnya : “ untuk menguak hakekat manusia saja sudah sedemikian sulitnya, bagaimana bisa aku mampu mengerti keberadaan Gusti Allah yang aku sembah “ ?

Tak jarang San Ali merenung malam hari di bawah pohon besar, sambil merenung dan menunggu datangnya kantuk dia menerawang jauh melihat bintang-bintang di atas langit. Benarkah ‘Arsy singgasana Allah terletak di salah satu bintang di langit itu ? Kalau Gusti Allah ada di langit itu, bagaimana aku bisa menemui DIA yang aku sembah selama ini ? Alangkah jauh jaraknya antara aku yang di bawah sini dengan DIA yang di atas sana.

San Ali teringat ajaran guru agungnya Syaikh Datuk Kahfi yang sangat keras melarangnya untuk membayang-bayangkan, membanding-bandingkan, dan memikirkan Gusti Allah. Bagaimana orang bisa mengenal Gusti Allah jika tidak boleh membayangkan, membandingkan apalagi memikirkan-Nya ?

Gumpalan awan hitam pekat yang lewat menutupi pandangannya seolah merupakan jawaban atas gejolak jiwanya dan angin malam yang berhembus semilir telah mengantarnya ke dalam buaian mimpi dengan segudang pertanyaan yang membutuhkan jawaban atas keberadaan Sang AKU.

Sebuah skenario atas diri anak manusia tengah dipersiapkan oleh sang Maha Pencipta

1 komentar: