Sabtu, 19 Juni 2010

Asal usul Syekh siti jenar

Nama asli Syekh Siti Jenar adalah Sayyid Hasan ’Ali Al-Husaini, dilahirkan di Persia, Iran. Kemudian setelah dewasa mendapat gelar Syaikh Abdul Jalil. Dan ketika datang untuk berdakwah ke Caruban, sebelah tenggara Cirebon. Dia mendapat gelar Syaikh Siti Jenar atau Syaikh Lemah Abang atau Syaikh Lemah Brit.
Syaikh Siti Jenar adalah seorang sayyid atau habib keturunan dari Rasulullah Saw. Nasab lengkapnya adalah Syekh Siti Jenar [Sayyid Hasan ’Ali] bin Sayyid Shalih bin Sayyid ’Isa ’Alawi bin Sayyid Ahmad Syah Jalaluddin bin Sayyid ’Abdullah Khan bin Sayyid Abdul Malik Azmat Khan bin Sayyid 'Alwi 'Ammil Faqih bin Sayyid Muhammad Shohib Mirbath bin Sayyid 'Ali Khali Qasam bin Sayyid 'Alwi Shohib Baiti Jubair bin Sayyid Muhammad Maula Ash-Shaouma'ah bin Sayyid 'Alwi al-Mubtakir bin Sayyid 'Ubaidillah bin Sayyid Ahmad Al-Muhajir bin Sayyid 'Isa An-Naqib bin Sayyid Muhammad An-Naqib bin Sayyid 'Ali Al-'Uraidhi bin Imam Ja'far Ash-Shadiq bin Imam Muhammad al-Baqir bin Imam 'Ali Zainal 'Abidin bin Imam Husain Asy-Syahid bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah Saw.
Syaikh Siti Jenar lahir sekitar tahun 1404 M di Persia, Iran. Sejak kecil ia berguru kepada ayahnya Sayyid Shalih dibidang Al-Qur’an dan Tafsirnya. Dan Syaikh Siti Jenar kecil berhasil menghafal Al-Qur’an usia 12 tahun.
Kemudian ketika Syaikh Siti Jenar berusia 17 tahun, maka ia bersama ayahnya berdakwah dan berdagang ke Malaka. Tiba di Malaka ayahnya, yaitu Sayyid Shalih, diangkat menjadi Mufti Malaka oleh Kesultanan Malaka dibawah pimpinan Sultan Muhammad Iskandar Syah. Saat itu. Kesultanan Malaka adalah di bawah komando Khalifah Muhammad 1, Kekhalifahan Turki Utsmani.
Akhirnya Syaikh Siti Jenar dan ayahnya bermukim di Malaka.
Kemudian pada tahun 1424 M, Ada perpindahan kekuasaan antara Sultan Muhammad Iskandar Syah kepada Sultan Mudzaffar Syah. Sekaligus pergantian mufti baru dari Sayyid Sholih [ayah Siti Jenar] kepada Syaikh Syamsuddin Ahmad.
Pada akhir tahun 1425 M. Sayyid Shalih beserta anak dan istrinya pindah ke Cirebon. Di Cirebon Sayyid Shalih menemui sepupunya yaitu Sayyid Kahfi bin Sayyid Ahmad.
Posisi Sayyid Kahfi di Cirebon adalah sebagai Mursyid Thariqah Al-Mu’tabarah Al-Ahadiyyah dari sanad Utsman bin ’Affan. Sekaligus Penasehat Agama Islam Kesultanan Cirebon. Sayyid Kahfi kemudian mengajarkan ilmu Ma’rifatullah kepada Siti Jenar yang pada waktu itu berusia 20 tahun. Pada saat itu Mursyid Al-Thariqah Al-Mu’tabarah Al-Ahadiyah ada 4 orang, yaitu:
1. Maulana Malik Ibrahim, sebagai Mursyid Thariqah al-Mu’tabarah al-Ahadiyyah, dari sanad sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq, untuk wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, Maluku, dan sekitarnya
2. Sayyid Ahmad Faruqi Sirhindi, dari sanad Sayyidina ’Umar bin Khattab, untuk wilayah Turki, Afrika Selatan, Mesir dan sekitarnya,
3. Sayyid Kahfi, dari sanad Sayyidina Utsman bin ’Affan, untuk wilayah Jawa Barat, Banten, Sumatera, Champa, dan Asia tenggara
4. Sayyid Abu Abdullah Muhammad bin Ali bin Ja’far al-Bilali, dari sanad Imam ’Ali bin Abi Thalib, untuk wilayah Makkah, Madinah, Persia, Iraq, Pakistan, India, Yaman.
Kitab-Kitab yang dipelajari oleh Siti Jenar muda kepada Sayyid Kahfi adalah Kitab Fusus Al-Hikam karya Ibnu ’Arabi, Kitab Insan Kamil karya Abdul Karim al-Jilli, Ihya’ Ulumuddin karya Al-Ghazali, Risalah Qushairiyah karya Imam al-Qushairi, Tafsir Ma’rifatullah karya Ruzbihan Baqli, Kitab At-Thawasin karya Al-Hallaj, Kitab At-Tajalli karya Abu Yazid Al-Busthamiy. Dan Quth al-Qulub karya Abu Thalib al-Makkiy.
Sedangkan dalam ilmu Fiqih Islam, Siti Jenar muda berguru kepada Sunan Ampel selama 8 tahun. Dan belajar ilmu ushuluddin kepada Sunan Gunung Jati selama 2 tahun.
Setelah wafatnya Sayyid Kahfi, Siti Jenar diberi amanat untuk menggantikannya sebagai Mursyid Thariqah Al-Mu’tabarah Al-Ahadiyyah dengan sanad Utsman bin ’Affan. Di antara murid-murid Syaikh Siti Jenar adalah: Muhammad Abdullah Burhanpuri, Ali Fansuri, Hamzah Fansuri, Syamsuddin Pasai, Abdul Ra’uf Sinkiliy, dan lain-lain.

KESALAHAN SEJARAH TENTANG SYAIKH SITI JENAR YANG MENJADI FITNAH adalah:
1. Menganggap bahwa Syaikh Siti Jenar berasal dari cacing. Sejarah ini bertentangan dengan akal sehat manusia dan Syari’at Islam. Tidak ada bukti referensi yang kuat bahwa Syaikh Siti Jenar berasal dari cacing. Ini adalah sejarah bohong. Dalam sebuah naskah klasik, Serat Candhakipun Riwayat jati ; Alih aksara; Perpustakaan Daerah Propinsi Jawa Tengah, 2002, hlm. 1, cerita yg masih sangat populer tersebut dibantah secara tegas, “Wondene kacariyos yen Lemahbang punika asal saking cacing, punika ded, sajatosipun inggih pancen manungsa darah alit kemawon, griya ing dhusun Lemahbang.” [Adapun diceritakan kalau Lemahbang (Syekh Siti Jenar) itu berasal dari cacing, itu salah. Sebenarnya ia memang manusia yang akrab dengan rakyat jelata, bertempat tinggal di desa Lemah Abang]….
2. “Ajaran Manunggaling Kawulo Gusti” yang diidentikkan kepada Syaikh Siti Jenar oleh beberapa penulis sejarah Syaikh Siti Jenar adalah bohong, tidak berdasar alias ngawur. Istilah itu berasal dari Kitab-kitab Primbon Jawa. Padahal dalam Suluk Syaikh Siti Jenar, beliau menggunakan kalimat “Fana’ wal Baqa’. Fana’ Wal Baqa’ sangat berbeda penafsirannya dengan Manunggaling Kawulo Gusti. Istilah Fana’ Wal Baqa’ merupakan ajaran tauhid, yang merujuk pada Firman Allah: ”Kullu syai’in Haalikun Illa Wajhahu”, artinya “Segala sesuatu itu akan rusak dan binasa kecuali Dzat Allah”. Syaikh Siti Jenar adalah penganut ajaran Tauhid Sejati, Tauhid Fana’ wal Baqa’, Tauhid Qur’ani dan Tauhid Syar’iy.
3. Dalam beberapa buku diceritakan bahwa Syaikh Siti Jenar meninggalkan Sholat, Puasa Ramadhan, Sholat Jum’at, Haji dsb. Syaikh Burhanpuri dalam Risalah Burhanpuri halaman 19 membantahnya, ia berkata, “Saya berguru kepada Syaikh Siti Jenar selama 9 tahun, saya melihat dengan mata kepala saya sendiri, bahwa dia adalah pengamal Syari’at Islam Sejati, bahkan sholat sunnah yang dilakukan Syaikh Siti Jenar adalah lebih banyak dari pada manusia biasa. Tidak pernah bibirnya berhenti berdzikir “Allah..Allah..Allah” dan membaca Shalawat nabi, tidak pernah ia putus puasa Daud, Senin-Kamis, puasa Yaumul Bidh, dan tidak pernah saya melihat dia meninggalkan sholat Jum’at”.
4. Beberapa penulis telah menulis bahwa kematian Syaikh Siti Jenar, dibunuh oleh Wali Songo, dan mayatnya berubah menjadi anjing. Bantahan saya: “Ini suatu penghinaan kepada seorang Waliyullah, seorang cucu Rasulullah. Sungguh amat keji dan biadab, seseorang yang menyebut Syaikh Siti Jenar lahir dari cacing dan meninggal jadi anjing. Jika ada penulis menuliskan seperti itu. Berarti dia tidak bisa berfikir jernih. Dalam teori Antropologi atau Biologi Quantum sekalipun. Manusia lahir dari manusia dan akan wafat sebagai manusia. Maka saya meluruskan riwayat ini berdasarkan riwayat para habaib, ulama’, kyai dan ajengan yang terpercaya kewara’annya. Mereka berkata bahwa Syaikh Siti Jenar meninggal dalam kondisi sedang bersujud di Pengimaman Masjid Agung Cirebon. Setelah sholat Tahajjud. Dan para santri baru mengetahuinya saat akan melaksanakan sholat shubuh.
5. Cerita bahwa Syaikh Siti Jenar dibunuh oleh Sembilan Wali adalah bohong. Tidak memiliki literatur primer. Cerita itu hanyalah cerita fiktif yang ditambah-tambahi, agar kelihatan dahsyat, dan laku bila dijadikan film atau sinetron. Bantahan saya: Wali Songo adalah penegak Syari’at Islam di tanah Jawa. Padahal dalam Maqaashidus syarii’ah diajarkan bahwa Islam itu memelihara kehidupan [Hifzhun Nasal wal Hayaah]. Tidak boleh membunuh seorang jiwa yang mukmin yang di dalam hatinya ada Iman kepada Allah. Tidaklah mungkin 9 waliyullah yang suci dari keturunan Nabi Muhammad akan membunuh waliyullah dari keturunan yang sama.” Tidak bisa diterima akal sehat.
Penghancuran sejarah ini, menurut ahli Sejarah Islam Indonesia (Azyumardi Azra) adalah ulah Penjajah Belanda, untuk memecah belah umat Islam agar selalu bertikai antara Sunni dengan Syi’ah, antara Ulama’ Syari’at dengan Ulama’ Hakikat. Bahkan Penjajah Belanda telah mengklasifikasikan umat Islam Indonesia dengan Politik Devide et Empera [Politik Pecah Belah] dengan 3 kelas:
1. Kelas Santri [diidentikkan dengan 9 Wali]
2. Kelas Priyayi [diidentikkan dengan Raden Fattah, Sultan Demak]
3. Kelas Abangan [diidentikkan dengan Syaikh Siti Jenar]
Wahai kaum muslimin...melihat fenomena seperti ini, maka kita harus waspada terhadap upaya para kolonialist, imprealis, zionis, freemasonry yang berkedok orientalis terhadap penulisan sejarah Islam. Hati-hati....jangan mau kita diadu dengan sesama umat Islam. Jangan mau umat Islam ini pecah. Ulama’nya pecah. Mari kita bersatu dalam naungan Islam untuk kejayaan Islam dan umat Islam.

suluk abdul jalil

Tubuhnya jangkung, tegap, dan berotot. Kulitnya putih kemerahan, hidungnya mancung, alis matanya tebal. Matanya setajam elang. Postur tubuhnya yang lain dari kebanyakan orang pribumi membuat San Ali mudah dikenali. Apalagi mendengar namanya yang sangat asing ditelinga menunjukkan bahwa dia adalah salah satu peranakan Melayu-Gujarat.
San Ali adalah sebuah nama yang mulai banyak dikenal karena seringnya dia keluar masuk hutan, berkunjung dari satu desa ke desa lainnya dan bergaul dengan berbagai kalangan untuk mencari Tuhannya. Para Brahmin (pendeta Hindu) tidak keberatan malah dengan suka cita berdiskusi dengan San Ali tentang masalah keTuhanan sesuai dengan ajarannya masing-masing. Tidak ada yang merasa dipojokkan untuk mempertahankan kebenaran agamanya. Malah sebaliknya semakin bertambah wawasan ilmu untuk menemukan kebenaran sejati.

Dari beberapa pengamatan tentang kehidupan selama perantauannya, San Ali semakin merasa penasaran dengan apa yang dia peroleh. Misalnya tentang perbedaan antara orang-orang durhaka dan celaka, seperti : penjudi, pemabuk, pencuri, perampok, pelacur, penipu, pembunuh dan pemuja berhala yang bakal menempati neraka. Sebaliknya orang-orang yang saleh dan beruntung yang bakal menghuni surga.
San Ali melihat, bahwa persoalan ini hanyalah masalah penundaan waktu belaka. Intinya orang yang masuk neraka sudah melaksanakan hal-hal yang dilarang agama pada saat di dunia, sedang orang yang masuk surga melakukannya pada saat orang itu sudah meninggal dan masuk surga, karena di surga mereka bebas minum khamr, menikmati 40 bidadari, bersenang-senang dan tidak ada larangan apapun.
Jadi apa bedanya perbuatan itu ? Yang satu dilampiaskannya di dunia, yang lainnya menunggu di akherat.

Yang di neraka pasti mendapat siksa, sedang yang di surga bisa berbuat apapun yang disuka. Atas dasar apa Gusti Allah menentukan golongan manusia yang akan masuk neraka (celaka) sedangkan golongan lain masuk surga (beruntung). Bukankah Gusti Allah itu Maha Adil ? Kenapa membeda-bedakan antara satu dengan yang lain ? Bukankah mereka itu lahir kedunia bukan atas kehendaknya sendiri kemudian setelah mati harus mendapat siksa di neraka. Kenapa Gusti Allah yang mempunyai sifat Ar- Rahman & Ar-Rahim begitu tega menyiksa ?

Bagaimana dengan aku (San Ali) ? Kalau aku masuk neraka, berarti AKU (Tuhan) juga masuk neraka ? Bukankah dalam diri aku juga ada AKU ?

Petualangan San Ali dalam mencari Tuhannya masih diselimuti kabut tebal dan membingungkan. Setiap kali ditemukan jawaban atas satu persoalan selalu diikuti oleh pertanyaan lain yang lebih rumit dan menemui jalan buntu untuk memperoleh jawaban atas hakekat hidup manusia.

Suatu saat sekeluarnya dari hutan, San Ali bertemu dengan salah satu Brahmin tua yang sedang mempersembahkan sesaji di altar dewa. Terlintas di benaknya bahwa sangat mustahil arca dewa bisa makan sesaji yang disiapkan sang Brahmin. Namun terlintas pula di benaknya tentang ibadah qurban di dalam agama Islam. Bukankah Gusti Allah yang tak terpikirkan dan tak terjangkau panca indra itu sesungguhnya juga tidak membutuhkan darah dan daging domba ? Namun kenapa umat Islam setiap hari Raya Idhul Adha itu menyembelih domba ? Apa bedanya ibadah sang Brahmin tua tadi dengan ibadah umat Islam dalam hal persembahan ?

Dalam benak San Ali muda bergelayut tanda tanya yang tak ada habisnya : “ untuk menguak hakekat manusia saja sudah sedemikian sulitnya, bagaimana bisa aku mampu mengerti keberadaan Gusti Allah yang aku sembah “ ?

Tak jarang San Ali merenung malam hari di bawah pohon besar, sambil merenung dan menunggu datangnya kantuk dia menerawang jauh melihat bintang-bintang di atas langit. Benarkah ‘Arsy singgasana Allah terletak di salah satu bintang di langit itu ? Kalau Gusti Allah ada di langit itu, bagaimana aku bisa menemui DIA yang aku sembah selama ini ? Alangkah jauh jaraknya antara aku yang di bawah sini dengan DIA yang di atas sana.

San Ali teringat ajaran guru agungnya Syaikh Datuk Kahfi yang sangat keras melarangnya untuk membayang-bayangkan, membanding-bandingkan, dan memikirkan Gusti Allah. Bagaimana orang bisa mengenal Gusti Allah jika tidak boleh membayangkan, membandingkan apalagi memikirkan-Nya ?

Gumpalan awan hitam pekat yang lewat menutupi pandangannya seolah merupakan jawaban atas gejolak jiwanya dan angin malam yang berhembus semilir telah mengantarnya ke dalam buaian mimpi dengan segudang pertanyaan yang membutuhkan jawaban atas keberadaan Sang AKU.

Sebuah skenario atas diri anak manusia tengah dipersiapkan oleh sang Maha Pencipta